.

HAMEMAYU HAYUNING BAWANA MANGESTI WARANGKA MANJING CURIGA ------- NGAWERUHI SANGKAN PARAN --- MADHEP MANTEP TETEP --- MANUNGGALING KAWULO KALAWAN GUSTI

Kamis, 13 Januari 2011

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Kini tiba saatnya Resi Wisrawa memulai penjabaran apa
arti ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Namun sebelum wejangan berupa penjabaran makna ilmu
sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu diajarkan
kepada Dewi Sukesi, Resi Wisrawa memberikan sekilas
tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Resi
Wisrawa berkata lembut, bahwa seyogyanya tak usah
terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti
terlaksana. Jika dengan sesungguhnya menghendaki
keutamaan dan ingin mengetahui arti sastra jendra.
Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu adalah, barang siapa
yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung
di dalam ajaran itu akan dapat mengenal watak
(nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini
selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan
sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan
kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu
yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang
bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin.
Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang
bersifat luhur.

Terperangah Prabu Sumali tatkala mendengar uraian Resi
Wisrawa. Mendengar penjelasan singkat itu Prabu Sumali
hatinya mmenjadi sangat terpengaruh, tertegun dan
dengan segera mempersilahkan Resi Wisrawa masuk ke
dalam sanggar. Wejangan dilakukan di dalam sanggar
pemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi
Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Karena Sastrajendra adalah
rahasia alam semesta, yang tidak dibolehkan diketahui
sebarang makhluk, seisi dunia baik daratan, angkasa
dan lautan. Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu sebagai kunci
orang dapat memahami isi indraloka pusat tubuh manusia
yang berada di dalam rongga dada yaitu pintu gerbang
atau kunci rasa jati, yang dalam hal ini bernilai sama
dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat gaib. Maka
dari itu ilmu Sastra Jendera Hayuningrat Pangruwating
Diyu adalah sebagai sarana pemunah segala bahaya, yang
di dalam hal ilmu sudah tiada lagi. Sebab segalanya
sudah tercakup dalam sastra utama, puncak dari segala
macam ilmu. Raksasa serta segala hewan seisi hutan,

jika tahu artinya sastra jendra. Dewa akan membebaskan
dari segala petaka. Sempurna kematiannya, rohnya akan
berkumpul dengan roh manusia, manusia yang telah
sempurna yang menguasal sastra jendra, apabila ia
mati, rohnya akan berkumpul dengan para dewa yang
mulya.

Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta. Suatu hal yang
mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan
kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum
nyata bagi manusia biasa. Karena itu Ilmu Sastra
Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan
tentang rahasia seluruh semesta alam beserta
perkembangannya. Jadi tugasnya, Ilmu Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara
untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu,
manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau jalan
dalam hal ini berarti sukma dan roh yang manunggal,
antara lain dengan cara-cara seperti:

Mutih : makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun
juga.

Sirik : menjauhkan diri dari segala macam keduniawian.

Ngebleng : menghindari segala makanan atau minuman
yang tak bergaram.

Patigeni : tidak makan atau minum apa-apa sama sekali.

Selanjutnya melakukan samadi, sambil mengurangi makan,
minum, tidur dan lain sebagainya. Pada samadi itulah
pada galibnya orang akan mendapalkan ilham atau wisik.
Ada tujuh tahapan atau tingkat yang harus dilakukan
apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna,
yaitu :

Tapaning jasad, yang berarti
mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau
kegiatannya. Janganlah hendaknya merasa sakit hati
atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai
sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu
peristiwa yang menyangkut pada dirinya.

Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
kesungguhan hati.

Tapaning budi, yang berarti mengelakkan/mengingkari
perbuatan yang terhina dan segala hal yang bersifat
tidak jujur.

Tapaning hawa nafsu, yang berarti
mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau
sifat angkara murka dari diri pribadi. Hendaknya
selalu bersikap sabar dan suci, murah hati,
berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun,
juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memperhatikan
perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat
tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak
dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga,
serta kewaspadaan (hening).

Tapaning sukma, yang berarti memenangkan jiwanya.
Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu
kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan
hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang
berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
Pendek kata tanpa menyinggung perasaan.

Tapaning cahya, yang berarti hendaknya orang selalu
awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkan
sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau mabuk
karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan
penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula
kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada
kebahagiaan dan keselamatan umum.

Tapaning gesang, yang berarti berusaha berjuang sekuat
tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaari
hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada
tingkat hidup tertinggi, maka ilmu Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu itu dinamakan pula
"Benih seluruh semesta alam."

Jadi semakin jelas bahwa Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat
memahami isi Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu

yang luhur diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.
Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus
ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang
baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat itu
ialah; Lumamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu
birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal
yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya
sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain:
kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan dan lain
sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah
(nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati,
berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu
menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.

Saat wejangan tersebut dimulai, para dewata di
kahyangan marah terhadap Resi Wisrawa yang berani
mengungkapkan ilmu rahasia alam semesta yang merupakan
ilmu monopoli para dewa. Para Dewa sangat
berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke
manusia. Karena apabila hal itu terjadi, apalagi jika
pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka
sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia
akan menjadi makhluk sempurna di mata
Penciptanya.Dewata tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi. Maka digoncangkan seluruh penjuru bumi. Bumi
terasa mendidih. Alam terguncang-guncang. Prahara
besar melanda seisi alam. Apapun mereka lakukan agar
ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jalankan.

Semakin lama ajaran itu semakin meresap di tubuh
Sukesi. Untuk tidak terungkap di alam manusia, maka
Bhatara Guru langsung turun tangan dan berusaha agar
hasil dari ilmu tersebut tetap menjadi rahasia para
dewa. Karenanya ilmu tersebut harus tetap tetap patuh
berada di dalam rahasia dewa. Oleh niat tersebut maka
Bhatara Guru turun ke bumi masuk ke dalam badan Dewi
Sukesi. Dibuatnya Dewi Sukesi tergoda dengan Resi
Wisrawa. Dalam waktu cepat Dewi Sukesi mulai tergoda
untuk mendekati Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus
menguraiakn ilmu itu tetap tidak berhenti. Bahkan
kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru
terpental keluar dari raga Dewi Sukesi. Tetapi Bathara
Guru tidak menyerah begitu saja. Dipanggilnya
permaisurinya yaitu Dewi Uma turun ke dunia. Bhatara

Guru masuk menyatu raga dalam tubuh Resi Wisrawa
sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi Sukesi.

Tepat pada waktu ilmu itu hendak selesai diwejangkan
oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi, datanglah suatu
percobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang
menyelundup ke dalam tubuh Bagawan Wisrawa dan Bhatari
Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi memulai
gangguannya terhadap keduanya. Godaan yang demikian
dahsyat datang menghampiri kedua insan itu. Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi yang menerima pengejawantahan
Bhatara Guru dan Dewi Uma secara berturut-turut
terserang api asmara dan keduanya dirangsang oleh
nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin
tinggi. Tembuslah tembok pertahanan Wisrawa dan
Sukesi. Dan terjadilah hubungan yang nantinya akan
membuahkan kandungan. Begawan Wisrawa lupa, bahwa ia
pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya
belaka. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum
wejangan Sastra Jendra selesai, keburu hubungan
antara Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi terjadi,
kenyataan mengatakan mereka sudah merupakan
suami-istri.

Seusai gangguan itu Bathara Guru dan Dewi Uma segera
meninggalkan dua manusia yang telah langsung menjadi
suami istri. Sadar akan segala perbuatannya, mereka
berdua menangis menyesali yang telah terjadi. Namun
segalanya telah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Dan hasil dari
segala uraian yang gagal diselesaikan itu adalah
sebuah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka
besar dunia dikemudian hari.

Tetapi apapun hasilnya harus dilalui. Resi Wisrawa dan
Dewi Sukesi membeberkan semuanya apa adanya kepada
sang ayah Prabu Sumali. Dengan arif Prabu Sumali
menerima kenyataan yang sudah terjadi. Dan Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi resmi sebagai suami istri, dan
seluruh sayembara ditutup. 

 Rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar